ROMADHON, KA. PRODI PPKn UNIKAMA KECAM INSIDEN DI MANISLOR KABUPATEN KUNINGAN

PANCASILA-POST: Salah satu tamu khusus Jalsah Salanah Nasional 2024 adalah akademisi dari Malang. Dia adalah Romadhon, dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas PGRI Kanjuruhan Malang. Bersama 100 tokoh nasional, daerah, akademisi, dan pegiat media. Romadhon mendapatkan undangan untuk menghadiri acara yang digelar oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia ini di Desa Manislor Kabupaten Kuningan.

Romadhon hadir sehari sebelum tanggal pelaksanaannya. Dalam perjalanan Pria asal Sampang mendapatkan informasi dari panitia bahwa kegiatan Jalsah Salanah dibatalkan karena mendapatkan pelarangan dari Pemerintah Daerah Kuningan. Namun karena posisinya sudah dekat dengan Lokasi Jalsah Salanah, maka Ia tetap dijemput panitia menuju hotel tempat menginap.

Meskipun acara Jalsah Salanah batal dilaksanakan, waktu yang ada tak disia-siakan oleh Romadhon. Ia mengunjungi lokasi tempat kegiatan Jalsah Salanah. Hari Jumat (6/12/2024) melihat secara langung bersama tamu yang lain. Tamu undangan seperti dari Tokoh Dayak Kalimantan Barat, dosen/peneliti UIN Padang, dosen/peneliti UIN Bukit Tinggi, Pondok Pesantren Darul Muttaqin Jember, peneliti IAIN Ambon, Komnas HAM, dan berbagai tamu dari luar sangat mengecam tindakan kesewenang-wenangan aparat pada Jemaat Ahmadiyah.

Kompak: Tamu undangan Jalsah Salanah dari IAIN Ambon, ICRP menyikapi insiden di Manislor Kuningan

Pria lulusan Magister Kebijakan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang menyesalkan tindakan pemerintah daerah dan kepolisian yang dianggapnya sangat berlebihan. Jika tindakan ini dibiarkan, katanya, maka keberagaman yang dicita-citakan bubar begitu saja. Oleh Karenaya, ada beberapa hal yang disampaikan oleh Romadhon dalam menyikapi batalnya Jalsah Salanah Nasional 2024.

Pertama, pemangku kebijakan tak mampu membaca konstitusi kita secara ‘kaffah’ dengan meletakkan pemikiran yang inklusif. Sebut saja, pada UUD1945, pasal 28E ayat (1): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.” Pasal ini secara tegas menjamin hak setiap individu untuk memilih dan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tafsir ayat sudah jelas dan final bahwa negara wajib melindungi warganya dengan latar belakang agama dan kepercayaan apapun,’’ katanya.

Kedua, bicara kebebasan beragama, bukanlah yang tabu di republik yang kaya keberagaman ini. Di samping telah diatur secara konstitusional, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan dijamin oleh konstitusi negara Indonesia. Banyak sekali dasar hukum kebebasan beragama yang tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan, baik Undang-Undang Dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Bersepakat membuat pernyataan sikap atas insiden yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kuningan Jawa Barat

Ketiga, pada pasal 29 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jelas, bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya. Belum lagi berbagai aturan yang mengatur sekaligus mengikat seluruh stakeholder untuk tunduk pada konstitusi negara. Sebagai warga negara, kita berkewajiban taat sama Undang-Undang bukan bukan surat edaran apalagi sekedar fatwa yang dilekuarkan oleh Ormas tertentu.

Keempat, kejadian yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang mendapatkan perlakuan diskriminatif untuk mengekspresikan kebebasan berserikat atau berhimpun yang diatur dalam konstitusi berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui Ahmadiyah merupakan organisasinya masyarakat keagamaan seperti halnya NU, Muhammadiyah dan sejenisnya.

Kelima, sepanjang organisasi apapun yang masih setia pada Pancasila dan nilai keagamaan yang dianut/dipercaya, saya pikir negara wajib melindungi. Tak ada alasan lagi untuk melakukan tindakan diskriminasi karena ketidakbanyaktahuan kita pada suatu organisasi tertentu. Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu kelompok keagamaan yang mendapatkan diskriminasi-konstitusional hingga saat ini. Karena hanya beda pemahaman dalam menginterpretasikan figur yang dinanti (Imam Mahdi) sebagaimana banyak hadits yang meriwayatkan, seperti HR At-Tirmidzi, 2230, dan sejenisnya,’’ tambah dia.

Keenam, kejadian pelarangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan menjadi perhatian bersama sebagai bagian dari merawat semangat ‘Bhinneka Tunggal Ika. Kegiatan yang akan berlangsung 6-7 Desember 2024 di Manislor mendapat penolakan dari sekelompok oknum ekstrimis. Kelompok yang mengatasnamakan demi keamanan dan ketertiban sebagimana dalam surat pemberhentian kegiatan nomor: 200.1.4.3/4666/BKBP yang dikeluarkan oleh Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Kuningan tertanggal 5 Desember 2024.

Ketujuh, surat yang dikeluarkan Pemkab Kuningan bertentangan dengan konstitusi. Karena telah memutuskan  surat yang bertentangan konstitusi, ini juga berpotensi membelah keberagaman dalam keberagamaan. Potensi kebencian cukup menganga lebar yang akan memperkeruh dinamika keberagaman. Ini tak bisa dibiarkan begitu saja, pemerintah pusat harus mengambilkan sikap atas kecerobahan pemerintah daerah yang cenderung diskriminatif.

Bersama tamu undangan dari Kalimantan Barat dan UIN Padang Sumatera Barat di depan Masjid An-Nur JAI Manislor

Kedelapan, kegiatan Jalsah Salanah yang mendapatkan penolakan hanya dari oknum yang ditunggangi kelompok ekstrim, ini tak bisa terus menerus melanda Jemaat Ahmadiyah. Jalsah Salanah merupakan kegiatan tahunan, di mana kesempatan untuk meninggalkan urusan duniawi dan mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Para peserta diberi kesempatan untuk mendapatkan manfaat secara rohani, memperkuat ikatan mereka dengan Allah, serta menambah kecintaan terhadap Rasulullah. Melalui Jalsah ini, mereka akan mendapatkan ilmu agama yang lebih mendalam dan membangun hubungan yang erat dengan sesama saudara seiman.”

Kesembilan, saya sebagai tamu undangan, sangat menyesalkan sikap represif-verbal yang dilakukan oleh Pemkab Kuningan atas pelarangan ini. Sementara, pihak Pemkab termasuk Forkopimda belum pernah bertanya kegiatan Jalsah Salanah konsep dan substansi acara. Inilah yang kemudian saya istilahkan ‘arogansi birokrasi’ yang hanya mendasar pada satu sumber,’’ tandasnya.

 Kesepuluh, kegiatan keagamaan yang sepanjang tidak bertentangan Pancasila dan UUD 1945 mestinya mendapatkan perlindungan yang sama. Jika sikap represif-verbal dibiarkan dan ini dilakuakn oleh aparat keamanan, maka hak-hak rakyat sipil akan terus diberangus secara sistematis dan terstruktur. (Sumber: nusadaily.com)

Scroll to Top